Menerapkan sikap mandiri dan ekonomis

by 05:16 0 comments
Kemandirian dan Perilaku ekonomis
Profesor Sarbini Sumawinata (1983) menulis, ”sejarah ekonomi kita adalah sejarah tanpa perubahan.” Pernyataan demikian memang sangat satir dan terkesan hiperbolis. Namun, apabila dikaji secara mendalam, perkembangan perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan hingga reformasi saat ini belum menunjukkan perubahan yang berarti.



Hal ini bukan berarti sejarah kemerdekaan kita statis, justru sebaliknya sangat dinamis. Akan tetapi, gelombang dinamika sejarah kita selalu kembali ke titik semula. Akibatnya, sekarang kita berdiri pada titik yang tidak ada perubahan dibandingkan dengan titik permulaan. Khususnya bila melihat dari segi pembangunan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.
Kalau kita membandingkan struktur ekonomi pada zaman kolonial dan masa permulaan kemerdekaan dengan struktur ekonomi sekarang, beberapa hal seolah-olah menunjukkan adanya perubahan struktur. Khususnya bila kita melihat sumbangan sektor pertanian terhadap GNP dan GDP, seolah-olah nampak perubahan struktur ekonomi yang besar. BPS (2010) mencatat sumbangan sektor pertanian pada Triwulan I Tahun 2010 sebesar 16.0 persen. Sementara, sektor ekonomi yang lain tercatat Sektor Industri Pengolahan sebesar 25,4 persen, Sektor Perdagangan-Hotel-Restoran sebesar 13,9 persen, dan Sektor Pertambangan-Penggalian 11,2 persen, serta Sektor Konstruksi sebesar 10,0 persen. Secara keseluruhan kelima sektor tersebut mempunyai andil peranan sebesar 76,5 persen dalam PDB.
Akan tetapi, kalau kita selidiki lebih lanjut, beberapa hal menunjukkan semua kenyataan tersebut tidak menunjukkan adanya perubahan yang fundamental terhadap kesejahteraan rakyat. Sebab, menurut Profesor Sarbini Sumawinata (1983), membangun ekonomi bukan semata-mata menciptakan struktur ekonomi yang sehat dan memuja angka-angka pertumbuhan. Namun, perlu diingat pentingnya produktifitas masyarakat. Apabila dilihat dari sudut ini, maka yang lebih penting dari melihat sumbangan sektor ekonomi pada GDP adalah produktifitas tanaga kerja yang bekerja pada sektor-sektor ekonomi. Dengan kata lain, proporsi pembagian angkatan kerja (man power) pada beberapa bidang ekonomi juga menjadi alat ukur keberhasilan pembangunan ekonomi.
Seperti kita pahami, proporsi pembagian angkatan kerja ini biasanya digolongkan dalam tiga bidang usaha meliputi, (1) bidang usaha primer, yang meliputi usaha pertanian, pertambangan dan seluruh industri ekstraktif; (2) bidang usaha sekunder, yang meliputi usaha industri manufaktur; dan (3) bidang usaha tertier yang meliputi jasa-jasa.
Dari sudut tersebut, maka pergeseran angkatan kerja dari bidang usaha primer ke sekunderyang sesungguhnya berarti peningkatan produktifitas yang terbesartidak ada artinya. Ini terlihat pada masih sedikitnya angkatan kerja yang tertampung di bidang industri, khususnya industri manufaktur. Dengan kata lain, terlihat bahwa merosotnya proporsi angkatan kerja dari bidang usaha primer ternyata ditampung oleh bidang usaha tertier (jasa-jasa). Kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata lapangan kerja yang menampung angkatan kerja ”pelarian” dari bidang primer adalah justru lapangan kerja yang sangat tidak produktif. Yaitu, usaha-usaha kecil atau apa yang dikenal dengan ”sektor informal” atau lebih jelas lagi self-employed workers. Contoh, penjual bakso, warteg, pedagang kaki lima (PKL), tukang parkir, dan lain-lain yang umumnya produktifitasnya rendah, sehingga pendapatannya pun rendah sekali. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa struktur ekonomi kita, dilihat dari peningkatan produktifitas, tidak menunjukkan perubahan yang berarti.
Gagasan dan realiasi kemandirian ekonomi nasional sampai kini memang masih jauh panggang dari api. Karsa untuk membangkitkan kemandirian itu kerap terhalang tembok tebal kekuasaan. Baik itu kekuasaan yang berasal dari dalam negeri (internal), kekuasaan ekonomi-politik neoliberalisme (eksternal), ataupun penggabungan dari keduanya. Kekuasaan ekonomi-politik kolaboratif ini menjadi sangat dahsyat karena dukungan jaringan, kapital, serta lembaga-lembaga penopang baik dari dalam maupun luar negeri (MNC/TNC).
Tak ayal, di tengah kepungan globalisasi ekonomi saat ini, rakyat dibiarkan sendiri bergelut dengan pasar (market) tanpa intervensi dari negara. Rencana pencabutan subsidi BBM yang marak akhir-akhir ini merupakan fakta aktual ketidakberdayaan negara berhadapan dengan pasar (market). Belum lagi serangkaian perjanjian free trade yang mulai diberlakukan Januari 2010 (misalnya ACFTA). Di tengah kepungan tersebut, seharusnya negara lebih proaktif membantu rakyat untuk bangkit dan mandiri dan bukan sebaliknya, yakni melakukan pencabutan subsidi serta membiarkan rakyat berjalan sendiri.
Mungkin kita harus mengingat statement mantan bandit ekonomi (economic hit-man), John Perkins. Ia pernah mengatakan, Multinational Corporation (MNC) melalui IMF dan World Bank selalu membungkus tindakannya dengan kalimat-kalimat yang mulia. Kalimat itu menjadi mantera yang ampuh seperti, memajukan peradaban, menyebarkan demokrasi, merangsang pertumbuhan ekonomi, menerangi jalan kemajuan. Tetapi, tidak diragukan lagi mereka adalah penjajah yang berniat menjarah. Mereka layak disebut “diktator finansial” [John Perkins, 2007:85].
Hipotesis ini kemudian didukung oleh telaah akademik Stiglizt. Ia menulis, “agar program-program IMF berjalan dan angka-angka bertambah terus, perkiraan ekonomi harus disesuaikan. Banyak orang yang menggunakan angka-angka ini tidak menyadari perbedaannya dari perkiraan biasa. Dalam contoh-contoh ini, perkiraan GDP tidak dibuat berdasarkan model statistik yang canggih. Bahkan bukan merupakan estimasi terbaik dari orang yang memahami ekonomi. Akan tetapi sekadar angka-angka hasil negoisasi sebagai bagian dari program IMF” [Stiglitz, 2003:232].
Jelas sudah, mengikuti kaidah neoliberalisme lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Seperti ditulis J.S Furnivall dalam buku Hindia-Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (2009), ”sebaik-baiknya kebijaksanaan ekonomi dan politik kolonial, langkah-langkah itu tidak pernah memenuhi aspirasi rakyat.”
Akhirnya, tidak ada pilihan lain kecuali bahwa kita harus mendesain ekonomi nasional yang lebih mengikuti kaidah-kaidah prorakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan guna menghasilkan keadilan. Ekonomi nasional harus mewujudkan good governance yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas dalam semua aspek, termasuk (renegoisasi) kontrak karya. Kita harus kembali pada ajaran kemandirian (Trisakti Bung Karno), untuk mencapai peri kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang bebas (liberty), adil (equality, justice), dan sejahtera (prosperity), serta membiasakan dan membuadayakan perilaku hidup ekonomis.

Sedangkan perilaku Ekonomis adalah penggunaan atau pemanfaatan dana seminimal mungkin dalam mendapatkan atau menghasilkan input dan output tersebut. Perusahaan dikatakan ekonomis, apabila perusahaan memanfaatkan uang yang dimilikinya untuk mendapatkan input dan menghasilkan output dengan biaya yang lebih rendah, atau dengan biaya yang sama dapat memperoleh input dan output dalam jumlah yang lebih besar.
3 E merupakan hal yang sangat penting, jika perusahaan dapat memanfaatkan ketiga hal tersebut maka kemungkinan perusahaan untuk mecapai tujuannya juga semakin besar.Efisiensi, efektifitas, dan ekonomis saling berkaitan satu sama lainnya sehingga menjadi faktor-faktor penentu dalam keberhasilan suatu perusahaan. Tentunya selain 3 E masih terdapat faktor-faktor lain seperti faktor-faktor internal dan eksternal lainnya.
Kecanggihan teknologi sekarang ini kerap menjadi media alternatif para pelaku bisnis untuk memasarkan produknya. Mereka juga tidak kehabisan akal untuk berusaha mendekatkan diri dengan para calon konsumen dengan cara memiliki berbagai akun sosial media yang kini tengah menjadi pusat perhatian di kalangan anak muda, terutama di Indonesia. Hal ini tentu sama-sama mempermudah kedua pihak, baik dari para penjual maupun calon konsumen. Para pemilik produk menjadi lebih mudah untuk menawarkan produknya disertai dengan informasi detail mengenai produk, cara pemesanan, hingga cara pembayaran yang menggunakan metode transfer antar bank. Konsumen menerima informasi dengan cara lebih mudah dan fleksibel karena tidak perlu mengunjungi toko konvensionalnya sehingga dapat menghemat lebih banyak waktu dan biaya.
Kemudahan seperti ini bukan berarti sepenuhnya baik dan sama-sama saling menguntungkan baik produsen atau pemilik produk dengan calon konsumennya. Dari sisi konsumen, ketidakmampuan untuk mengendalikan diri ketika menginginkan sebuah barang yang sebenarnya bukan sebuah kebutuhan bisa mengarahkan seseorang pada belenggu hutang kartu kredit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer nya sendiri. Celakanya lagi jika para konsumen akhirnya memilih alternatif untuk berhutang kepada keluarga, rekan, atau bank dengan alasan tertentu sehingga mendapatkan ‘jawaban sementara’ untuk penyelesaian masalah ekonominya. Padahal, alternatif ini nantinya juga akan menimbulkan permasalahan yang sama: hutang  yang harus dibayar.
Untuk menghindari kejadian seperti ini, jawaban yang paling tepat adalah pengendalian diri. Pengendalian diri ini tidak hanya soal bagaimana mengatur nafsu lapar mata, namun juga mengatur masa depan dengan berbagai kegiatan yang sebetulnya sangat penting dan krusial. Kebiasaan preventif yang harus dibangun sejak dini ini memiliki efek menghindarkan Anda dari kebiasaan hutang yang mungkin Anda miliki ketika menghadapi masalah keuangan yang mendesak. Unexpected event sangat mungkin terjadi dan resiko ini cukup besar harganya bila Anda tidak memiliki persiapan, misalnya dari segi finansial. Maka, penting untuk memiliki kebiasaan berhemat sebagai salah satu bentuk pengendalian diri Anda. Selain itu kebiasaan berhemat juga memiliki manfaat lain bagi Anda sendiri seperti memiliki dana cadangan untuk membangun masa depan karir, modal wirausaha, sebagai dana pensiun, serta tidak perlu bergantung pada asuransi kesehatan.



Mengingat pentingnya berhemat sebagai salah satu bentuk pengendalian diri ini, berikut 12 cara untuk hidup hemat yang bisa dilakukan.
1. Prioritas: Kebutuhan dan keinginan
2. Pengeluaran < Pendapatan
3. Menjaga Kesehatan
4. Bijak Dalam Berbelanja
5. Fasilitas Berlibur Murah
6. Membawa Bekal
7. Membeli barang-barang Investasi
9. Jangan Meremehkan Uang Receh
10. Menerapkan Pola Hidup Sederhana
11. Disiplin Dalam Menabung















Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.