Kemandirian dan Perilaku
ekonomis
Profesor Sarbini Sumawinata
(1983) menulis, ”sejarah ekonomi kita adalah sejarah tanpa perubahan.”
Pernyataan demikian memang sangat satir dan terkesan hiperbolis. Namun, apabila
dikaji secara mendalam, perkembangan perekonomian Indonesia sejak kemerdekaan
hingga reformasi saat ini belum menunjukkan perubahan yang berarti.
Hal ini bukan berarti sejarah
kemerdekaan kita statis, justru sebaliknya sangat dinamis. Akan tetapi,
gelombang dinamika sejarah kita selalu kembali ke titik semula. Akibatnya,
sekarang kita berdiri pada titik yang tidak ada perubahan dibandingkan dengan
titik permulaan. Khususnya bila melihat dari segi pembangunan ekonomi yang
berorientasi pada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak.
Kalau kita membandingkan
struktur ekonomi pada zaman kolonial dan masa permulaan kemerdekaan dengan
struktur ekonomi sekarang, beberapa hal seolah-olah menunjukkan adanya
perubahan struktur. Khususnya bila kita melihat sumbangan sektor pertanian
terhadap GNP dan GDP, seolah-olah nampak perubahan struktur ekonomi yang besar.
BPS (2010) mencatat sumbangan sektor pertanian pada Triwulan I Tahun 2010
sebesar 16.0 persen. Sementara, sektor ekonomi yang lain tercatat Sektor
Industri Pengolahan sebesar 25,4 persen, Sektor Perdagangan-Hotel-Restoran
sebesar 13,9 persen, dan Sektor Pertambangan-Penggalian 11,2 persen, serta
Sektor Konstruksi sebesar 10,0 persen. Secara keseluruhan kelima sektor
tersebut mempunyai andil peranan sebesar 76,5 persen dalam PDB.
Akan tetapi, kalau kita
selidiki lebih lanjut, beberapa hal menunjukkan semua kenyataan tersebut tidak
menunjukkan adanya perubahan yang fundamental terhadap kesejahteraan rakyat.
Sebab, menurut Profesor Sarbini Sumawinata (1983), membangun ekonomi bukan
semata-mata menciptakan struktur ekonomi yang sehat dan memuja angka-angka
pertumbuhan. Namun, perlu diingat pentingnya produktifitas masyarakat. Apabila
dilihat dari sudut ini, maka yang lebih penting dari melihat sumbangan sektor
ekonomi pada GDP adalah produktifitas tanaga kerja yang bekerja pada
sektor-sektor ekonomi. Dengan kata lain, proporsi pembagian angkatan kerja (man
power) pada beberapa bidang ekonomi juga menjadi alat ukur keberhasilan
pembangunan ekonomi.
Seperti kita pahami, proporsi
pembagian angkatan kerja ini biasanya digolongkan dalam tiga bidang usaha
meliputi, (1) bidang usaha primer, yang meliputi usaha pertanian, pertambangan
dan seluruh industri ekstraktif; (2) bidang usaha sekunder, yang meliputi usaha
industri manufaktur; dan (3) bidang usaha tertier yang meliputi jasa-jasa.
Dari sudut tersebut, maka
pergeseran angkatan kerja dari bidang usaha primer ke sekunderyang
sesungguhnya berarti peningkatan produktifitas yang terbesartidak ada artinya.
Ini terlihat pada masih sedikitnya angkatan kerja yang tertampung di bidang
industri, khususnya industri manufaktur. Dengan kata lain, terlihat bahwa
merosotnya proporsi angkatan kerja dari bidang usaha primer ternyata ditampung
oleh bidang usaha tertier (jasa-jasa). Kalau kita teliti lebih lanjut, ternyata
lapangan kerja yang menampung angkatan kerja ”pelarian” dari bidang primer
adalah justru lapangan kerja yang sangat tidak produktif. Yaitu, usaha-usaha
kecil atau apa yang dikenal dengan ”sektor informal” atau lebih jelas lagi
self-employed workers. Contoh, penjual bakso, warteg, pedagang kaki lima (PKL),
tukang parkir, dan lain-lain yang umumnya produktifitasnya rendah, sehingga
pendapatannya pun rendah sekali. Jadi, dapat kita simpulkan bahwa struktur
ekonomi kita, dilihat dari peningkatan produktifitas, tidak menunjukkan
perubahan yang berarti.
Gagasan dan realiasi
kemandirian ekonomi nasional sampai kini memang masih jauh panggang dari api.
Karsa untuk membangkitkan kemandirian itu kerap terhalang tembok tebal
kekuasaan. Baik itu kekuasaan yang berasal dari dalam negeri (internal),
kekuasaan ekonomi-politik neoliberalisme (eksternal), ataupun penggabungan dari
keduanya. Kekuasaan ekonomi-politik kolaboratif ini menjadi sangat dahsyat
karena dukungan jaringan, kapital, serta lembaga-lembaga penopang baik dari
dalam maupun luar negeri (MNC/TNC).
Tak ayal, di tengah kepungan
globalisasi ekonomi saat ini, rakyat dibiarkan sendiri bergelut dengan pasar
(market) tanpa intervensi dari negara. Rencana pencabutan subsidi BBM yang
marak akhir-akhir ini merupakan fakta aktual ketidakberdayaan negara berhadapan
dengan pasar (market). Belum lagi serangkaian perjanjian free trade yang mulai
diberlakukan Januari 2010 (misalnya ACFTA). Di tengah kepungan tersebut, seharusnya
negara lebih proaktif membantu rakyat untuk bangkit dan mandiri dan bukan
sebaliknya, yakni melakukan pencabutan subsidi serta membiarkan rakyat berjalan
sendiri.
Mungkin kita harus mengingat
statement mantan bandit ekonomi (economic hit-man), John Perkins. Ia pernah
mengatakan, Multinational Corporation (MNC) melalui IMF dan World Bank selalu
membungkus tindakannya dengan kalimat-kalimat yang mulia. Kalimat itu menjadi
mantera yang ampuh seperti, memajukan peradaban, menyebarkan demokrasi, merangsang
pertumbuhan ekonomi, menerangi jalan kemajuan. Tetapi, tidak diragukan lagi
mereka adalah penjajah yang berniat menjarah. Mereka layak disebut “diktator
finansial” [John Perkins, 2007:85].
Hipotesis ini kemudian
didukung oleh telaah akademik Stiglizt. Ia menulis, “agar program-program IMF
berjalan dan angka-angka bertambah terus, perkiraan ekonomi harus disesuaikan.
Banyak orang yang menggunakan angka-angka ini tidak menyadari perbedaannya dari
perkiraan biasa. Dalam contoh-contoh ini, perkiraan GDP tidak dibuat
berdasarkan model statistik yang canggih. Bahkan bukan merupakan estimasi
terbaik dari orang yang memahami ekonomi. Akan tetapi sekadar angka-angka hasil
negoisasi sebagai bagian dari program IMF” [Stiglitz, 2003:232].
Jelas sudah, mengikuti kaidah
neoliberalisme lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang. Seperti ditulis J.S Furnivall dalam buku
Hindia-Belanda: Studi tentang Ekonomi Majemuk (2009), ”sebaik-baiknya
kebijaksanaan ekonomi dan politik kolonial, langkah-langkah itu tidak pernah
memenuhi aspirasi rakyat.”
Akhirnya, tidak ada pilihan
lain kecuali bahwa kita harus mendesain ekonomi nasional yang lebih mengikuti
kaidah-kaidah prorakyat yang menitikberatkan pada pemerataan dan kesejahteraan
guna menghasilkan keadilan. Ekonomi nasional harus mewujudkan good governance
yang prinsip-prinsipnya adalah aksesibilitas, transparansi dan akuntabilitas
dalam semua aspek, termasuk (renegoisasi) kontrak karya. Kita harus kembali
pada ajaran kemandirian (Trisakti Bung Karno), untuk mencapai peri kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang bebas (liberty), adil (equality, justice), dan
sejahtera (prosperity), serta membiasakan dan membuadayakan perilaku hidup
ekonomis.
Sedangkan perilaku Ekonomis
adalah penggunaan atau pemanfaatan dana seminimal mungkin dalam mendapatkan
atau menghasilkan input dan output tersebut. Perusahaan dikatakan ekonomis,
apabila perusahaan memanfaatkan uang yang dimilikinya untuk mendapatkan input
dan menghasilkan output dengan biaya yang lebih rendah, atau dengan biaya yang
sama dapat memperoleh input dan output dalam jumlah yang lebih besar.
3 E merupakan hal yang sangat penting, jika perusahaan dapat memanfaatkan ketiga hal tersebut maka kemungkinan perusahaan untuk mecapai tujuannya juga semakin besar.Efisiensi, efektifitas, dan ekonomis saling berkaitan satu sama lainnya sehingga menjadi faktor-faktor penentu dalam keberhasilan suatu perusahaan. Tentunya selain 3 E masih terdapat faktor-faktor lain seperti faktor-faktor internal dan eksternal lainnya.
3 E merupakan hal yang sangat penting, jika perusahaan dapat memanfaatkan ketiga hal tersebut maka kemungkinan perusahaan untuk mecapai tujuannya juga semakin besar.Efisiensi, efektifitas, dan ekonomis saling berkaitan satu sama lainnya sehingga menjadi faktor-faktor penentu dalam keberhasilan suatu perusahaan. Tentunya selain 3 E masih terdapat faktor-faktor lain seperti faktor-faktor internal dan eksternal lainnya.
Kecanggihan
teknologi sekarang ini kerap menjadi media alternatif para pelaku bisnis untuk
memasarkan produknya. Mereka juga tidak kehabisan akal untuk berusaha
mendekatkan diri dengan para calon konsumen dengan cara memiliki berbagai akun
sosial media yang kini tengah menjadi pusat perhatian di kalangan anak muda,
terutama di Indonesia. Hal ini tentu sama-sama mempermudah kedua pihak, baik
dari para penjual maupun calon konsumen. Para pemilik produk menjadi lebih
mudah untuk menawarkan produknya disertai dengan informasi detail mengenai
produk, cara pemesanan, hingga cara pembayaran yang menggunakan metode transfer
antar bank. Konsumen menerima informasi dengan cara lebih mudah dan fleksibel
karena tidak perlu mengunjungi toko konvensionalnya sehingga dapat menghemat
lebih banyak waktu dan biaya.
Kemudahan
seperti ini bukan berarti sepenuhnya baik dan sama-sama saling menguntungkan
baik produsen atau pemilik produk dengan calon konsumennya. Dari sisi konsumen,
ketidakmampuan untuk mengendalikan diri ketika menginginkan sebuah barang yang
sebenarnya bukan sebuah kebutuhan bisa mengarahkan seseorang pada belenggu
hutang kartu kredit dan tidak mampu memenuhi kebutuhan primer nya
sendiri. Celakanya lagi jika para konsumen akhirnya memilih alternatif untuk
berhutang kepada keluarga, rekan, atau bank dengan alasan tertentu sehingga
mendapatkan ‘jawaban sementara’ untuk penyelesaian masalah ekonominya. Padahal,
alternatif ini nantinya juga akan menimbulkan permasalahan yang sama: hutang
yang harus dibayar.
Untuk
menghindari kejadian seperti ini, jawaban yang paling tepat adalah pengendalian
diri. Pengendalian diri ini tidak hanya soal bagaimana mengatur nafsu lapar
mata, namun juga mengatur masa depan dengan berbagai kegiatan yang sebetulnya
sangat penting dan krusial. Kebiasaan preventif yang harus dibangun sejak dini
ini memiliki efek menghindarkan Anda dari kebiasaan hutang yang mungkin Anda
miliki ketika menghadapi masalah keuangan yang mendesak. Unexpected event
sangat mungkin terjadi dan resiko ini cukup besar harganya bila Anda tidak
memiliki persiapan, misalnya dari segi finansial. Maka, penting untuk memiliki
kebiasaan berhemat sebagai salah satu bentuk pengendalian diri Anda. Selain itu
kebiasaan berhemat juga memiliki manfaat lain bagi Anda sendiri seperti
memiliki dana cadangan untuk membangun masa depan karir, modal wirausaha,
sebagai dana pensiun, serta tidak perlu bergantung pada asuransi kesehatan.
Mengingat pentingnya berhemat
sebagai salah satu bentuk pengendalian diri ini, berikut 12 cara untuk hidup
hemat yang bisa dilakukan.
1. Prioritas: Kebutuhan dan keinginan
2. Pengeluaran < Pendapatan
3. Menjaga Kesehatan
4. Bijak Dalam Berbelanja
5. Fasilitas Berlibur Murah
6. Membawa Bekal
7. Membeli barang-barang Investasi
9. Jangan Meremehkan Uang Receh
10. Menerapkan Pola Hidup Sederhana
11. Disiplin Dalam Menabung