Penemuan objek matematika terkadang melewati proses pemikiran yang “liar” dan pergulatan mental yang melelahkan. Hal ini sempat beberapa kali mengundang pertanyaan filosofis bagi para matematikawan. Memasuki abad ke 19 sebagian ahli matematika melihat landasan filosofis matematika perlu untuk dikaji kembali. Penemuan bilangan imajiner memainkan perananan penting dalam membuka teritorial pikiran baru yang terlegitimasi secara matematis, namun menyisakan problem filosofis dan logika yang tetap tak tersentuh. Bilangan imajiner sangat vital sebagai peralatan matematika, yang dengannya teorema fundamental aljabar dapat dikukuhkan. Namun penemuan, pengkonsepsian, serta pengembangan bilangan imajiner telah memberi corak dan warna baru dalam sejarah matematika dan logika, yang menurut Cardano proses ini melibatkan “mental tortures” dan melewati jalan pikiran yang oleh Bombelli disebut “wild thought.” Proses pergulatan mental dan pikiran ini merupakan ciri dari perkembangan matematika di zaman Renaissance.
Setidaknya ada dua pandangan filosofis tentang matematika yang masuk ke zaman Renaisscance. Dua pandangan filosofis ini merupakan warisan para pemikir dan matematikawan Yunani yang kemudian berkomunikasi dengan peradaban Arab. Yang pertama adalah Aristotelianisme yang memandang matematika sebagai proses kreatif-transendental pikiran manusia. Objek matematika dalam pandangan Aristotelianisme dapat dibuktikan adanya melalui proses berpikir kreatif melalui tangga-tangga berpikir yang naik berawal dari pikiran manusia (ascending from human mind), yaitu proposisi aksioma, sampai di objek matematika melalui pembuktian (teorema). Pandangan ini merupakan jawaban metodis terhadap pandangan filosofis yang dikemukakan oleh gurunya, Plato. Pandangan yang kedua adalah Platonism, yang memandang matematika sebagai hasil dari proses intuitif-transendental. Objek matematika dalam pandangan Plato adalah realitas yang bebas dari pikiran manusia (independent from human mind), namun tidak dapat dipisahkan dengan teritorial yang berada di atasnya. Plato berkeyakinan bahwa matematika (atau geometri pada masa itu) merupakan realitas imaterial yang legitimasinya dibuktikan melalui proses intuitif-transendental dari realitas yang berada di atasnya (descending from divine realm) dan sampai ke bawah bersesuaian dengan realitas fisis.
Kedua pandangan filosofis ini secara esensial aktif berkomunikasi memasuki zaman Renaissance di Eropa. Hingga memasuki abad ke-20 para pengkaji fondasi matematika mulai merumuskan batasan-batasan akal matematis yang bersumber dari pikiran manusia. Di samping itu pula para matematikawan abad ke-20 meletakan kerangka landasan filosofis matematika sebagai perluasan dari dua pandangan yang telah ada sebelumnya.

Bilangan Imajiner Sebagai Peralatan Matematis dan Aplikasinya

Dewasa ini bilangan imajiner sudah tidak asing lagi digunakan dalam matematika, khususnya dalam analisis kompleks. Analisis kompleks itu sendiri dapat dipandang sebagai penerapan teori-teori kalkulus terhadap bilangan imajner. Tetapi apa sesungguhnya bilangan imajiner ini? Apakah ia bilangan yang hanya ada dalam imajinasi, yang tidak memiliki kesesuaiannya dengan realitas fisis? Sebagian orang mungkin masih mempertanyakan legitimasi dari bilangan imajiner ini.
Dewasa ini keberadaan bilangan imajiner sebagai objek maupun peralatan matematis sangat dirasakan manfaatnya bagi dunia. Dalam dunia rekayasa, bilangan ini sering dipakai dalam mempelajari prilaku aliran fluida di sekitar objek tertentu. Dalam elektromagnetika bilangan imajiner digunakan dalam pemodelan gelombang. Sehingga jika bukan karena penemuan i mungkin kita tidak bisa berkomuniaksi lewat telepon seluler, atau mendengarkan radio. Bilangan imajiner adalah bagian penting dalam mempelajari deret tak hingga (infinite series). Ia juga dipakai dalam model-model matematika untuk mekanika quantum. Bilangan imajiner adalah peralatan vital di dalam kalkulasi ketika membuat pemodelan. Dan akhirnya, setiap persamaan polinomial akan mempunyai solusi apabila bilangan imajiner (atau bilangan kompkes) dilibatkan. Jelasnya, kepentingan-kepentingan praktis maupun teoritis itu dapat memberikan gambaran kenapa bilangan imajiner itu ada atau tercipta.
Atas dasar alasan praktis seperti di atas dapat dikatakan pada saat sekarang ini bahwa secara praktis, bilangan imajiner tercipta disebabkan karena ia dibutuhkan, atau karena ia merupakan peralatan matematika yang dibutuhkan. Sebagai contoh penyelesaikan persamaan semisal  akan menemui jalan buntu apabila di dalam matematika tidak dikenal konsep akar dua dari negatif satu. Karena itu terciptalah bilangan imaginer yang lebih populer disimbolkan dengan i (atau j dalam bidang kelistrikan), yang secara matematis memiliki kuantitas yang bersesuaian dengan akar dua dari negatif satu. Sehingga untuk mendapatkan solusi terhadap persamaan tadi, kita dapat memulainya dengan suatu anggapan i sebagai akar dua dari negatif satu. Namun anggapan ini belumlah menyentuh sisi filosofis penting dibalik munculnya bilangan imajiner.
Dari segi notasinya, bilangan imajiner adalah bilangan yang menakjubkan, setidaknya apabila kita mengkuadratkannya maka ia menjadi bilangan riil. Dengan menggunakan notasi akar dua dari negatif satu, yang disimbolkan dengan huruf i, persoalan akar dari bilangan negatif dapat diselesaikan.
Lebih jauh penemuan bilangan imaginer melewati beberapa fase pemikiran dan memerlukan waktu yang berabad-abad lamanya sehingga para matematikawan bisa menerima keberadaan bilangan baru ini. Pada bagian berikutnya saya akan mencoba mencatat beberapa episode sejarah bagaimana bilangan imajiner itu ditemukan, serta bagaimana bilangan imajiner itu dikonsepsikan serta dikembangkan.

Awal Penemuan dan Pengembangan Bilangan Imajiner

Sejarah penemuan bilangan imaginer (imaginary numbers) dimulai pada tahun 1545 ketika seorang matematikawan berkebangsaan Italia, Girolamo Cardano, menerbitkan buku yang berjudul Ars Magna, di mana pada buku tersebut Cardano untuk pertama kalinya menyatakan solusi aljabar terhadap persamaan kubik yang berbentuk . Persamaan ini untuk kemudian dikenal sebagai persamaan kubik umum. Solusinya diselesaikan oleh Cardano dengan terlebih dahulu mereformulasi persamaan kubik tersebut ke dalam persamaan kubik lain yang tidak memiliki suku yang variabelnya dikuadratkan, yaitu yang disebut dengan persamaan depressed cubic. Selanjutnya, Cardano menggunakan formula Ferro-Tartaglia untuk memecahkan persaamaan depressed cubic.
Selain sebagai matematikawan, Cardano juga dikenal sebagai fisikawan dan astrologer yang bekerja kepada para pembesar Eropa. Ia juga dikenal sebagai pejudi yang senang melakukan perjalanan jauh dan pesta-pora. Namun di tengah-tengah kesibukannya itu, karier matematika Cardano jauh lebih cemerlang sebagai aktor utama Renaissance. Di sisi lain, ia telah memberikan kontribusi penting terhadap perkembaangan awal ilmu probabilitas. Atas dasar kontribusi ini, ia telah dianggap sebagai bapak Ilmu Probabilitas. Selain De Vita Properia Liber yang berisi risalah ilmu probabilitas, ia juga menulis Ars Magna (Seni Agung). Di buku Ars Magna inilah Cardano mulai menyadari posibilitas keberadaan bilangan imajiner yang pertama kali muncul sebagai efek dari pengembangan penyelesaian persamaan kubik tadi.
Persamaan kubik (cubic equations) itu sendiri telah dipelajari oleh murid-murid Euclide di Alexandria. Archimedes (287 – 212 SM), misalnya, menemukan bahwa ketika sebuah bola dipotong oleh suatu bidang sehingga salah satu bagiannya memiliki volume dua kali bagian yang lainnya, maka cara bola tersebut dipotong mengarah ke persamaan kubik berbentuk : .
Memasuki awal masa Renaissance, para matematikawan Muslim telah banyak mewariskan cara menyelesaikan persamaan matematika baik dengan pendekatan aritmetika maupun melalui metode geometris. Namun matematikawan pada masa itu belum mampu untuk mendapatkan solusi aljabar terhadap persamaan kubik. Omar Khayyam (1050 – 1123) sebagai contoh memberikan ilustrasi terhadap pemecahan masalah persamaan kubik, namun hanya sampai di akar bilangan positif. Notasi terhadap akar dua bilangan negatif masih terlalu jauh dikonsepsikan mengingat konsep bilangan negatif sendiri masih asing waktu itu, dan penggunaannya dalam matematika masih dicurigai. Para matematikawan di masa itu agaknya masih sulit untuk menemukan korespondensi bilangan negatif dengan realitas fisis, meskipun secara sistematis penggunaannya dalam matematika telah dipresentasikan oleh Brahmagupta pada tahun 628.
Hingga pada tahun 1494, Luca Pacioli pun mengumumkan bahwa tidak ada solusi aljabar umum terhadap persamaan kubik. Orang pertama yang kemudian diketahui menemukan solusi aljabar terhadap persamaan depressed cubic adalah Scipio del Ferro (1465-1526), yaitu seorang guru besar di University of Bologna, Italia. Namun sayang, Ferro merahasiakan temuan ini untuk beberapa waktu, hingga ia memberitahukan temuan itu kepada Antonio Fior di saat menjelang wafatnya.
Setelah Cardano mereformulasi persamaan kubik umum menjadi bentuk depressed cubic equation, masalah selanjutnya adalah bagaimana menyelesaikan persamaan depressed cubic? Untungnya solusi persamaan depressed Cubic telah diketahui oleh teman Cardano yang bernama Niccolo Fontana yang dikenal juga dengan nama Tartaglia (“Si Gagap”), karena bicaranya gagap. Dalam suatu kontes, Nicollo Fontana ditantang oleh Fior untuk memecahkan permasalahan persamaan kubik. Namun diluar dugaan, Tartaglia berhasil memecahkannya dengan solusi yang lebih umum dari solusi yang diketahui Fior. Di lain waktu, Cardano membujuk Tartaglia agar memberitahukan temuannya itu, dan Tartaglia pun memberitahukannya dengan syarat agar temuan itu tidak dipublikasikan. Cardano menyetujuinya dan bersumpah tidak akan mempublikasikannya. Namun Cardano melanggar janjinya, ketika pada tahun 1543 ia menemukan paper yang ditulis oleh Ferro untuk topik persamaan kubik. Sejak itu munculah keinginan dalam dirinya itu untuk memformulasikan penanganan yang lebih lengkap terhadap persamaan kubik umum. Lalu kemudian ia menuliskan hasilnya dalam Ars Magna.
Maka dengan upaya ini Cardano bisa menangani persamaan kubik umum melalui koneksi persamaandepressed cubic dan solusinya dari Niccolo Fontana yang juga telah ditemukan 30 tahun sebelumnya oleh Scipio del Ferro. Formula rahasia ini kemudian disebut formula Ferro-Tartaglia.
Langkah-langkah penanganannya adalah sebagai berikut. Untuk menurunkan persamaan kubik yang berbentuk :
 ………. (1)
Cardano memulainya dengan mensubstitusikan  terhadap persamaan (1), yang menghasilkan bentuk :
 ………. (2)
Dengan b dan c yang bersesuaian :
Persamaan (2) disebut depressed cubic equation.
Jadi, apabila nilai x pada persamaan depressed cubic ditemukan maka solusi terhadap persamaan kubik umum juga bisa ditemukan. Untungnya, solusi terhadap persamaan depressed cubic di atas telah didapatkan Cardano dari Tartaglia. Bentuk solusinya adalah seperti ini :
 ………. (3)
Dengan formula Ferro-Tartaglia ini, Cardano mendapatkan solusi terhadap persamaan kubik umum.
Pengembangan dari penyelesaian persamaan kubik dengan koneksi persamaan depressed cubic serta formula Ferro-Tartaglia selanjutnya memberi legitimasi bagi posibilitas eksistensi bilangan imajiner. Meskipun problem matematika yang melibatkan akar bilangan negatif sebenarnya sudah disadari sebelumnya, sebagai misal dari persamaan kuadrat  yang solusinya . Namun pada masa Cardano konsep bilangan negatif masih diperlakukan dengan penuh curiga mengingat pada saat itu masih sulit untuk menemukan kesesuaiannya dengan realitas fisis. Sehingga munculnya akar dua dari bilangan negatif menambah keasingan bagi bilangan itu sendiri. Cardano sendiri mengatakan proses matematika dengan  melibatkan “mental tortures,” dan ia pun menyimpulkan, “as subtle as it would be useless.”
Berikutnya, pada tahun 1637, Rene Descartes membuat bentuk standar untuk bilangan kompleks yaitua+bi. Akan tetapi ia tidak menyukai bilangan ini. Ia mengasumsikan bahwa jika bilangan ini ada, maka ia pasti bisa dipecahkan. Namun karena ia tidak menemukan pemecahannya, maka ia tidak begitu berminat terhadap pengembangan bilangan ini. Isaac Newton sepakat dengan Descartes. Namun Leibniz memberikan komentar terhadap bilangan imajiner ini : “an elegant and wonderful resource of the divine intellect, an unnatural birth in the realm of thought, almost an amphibium between being and non-being.”

“Wild Thought”

Pada tahun 1572 Rafael Bombelli kembali menyadari arti penting bilangan imajiner. Dalam buku risalah Aljabarnya, Bombelli menunjukkan perlunya bilangan imajiner dilibatkan sebagai suatu peralatan matematis yang berguna. Bombelli memberikan langkah baru bagi pengembangan bilangan baru ini yang oleh Cardano dianggap “as refined as it is useless.” Bombelli beranggapan bahwa formula Ferro-Tartaglia dapat direformulasi ke dalam bentuk yang melibatkan kuantitas bilangan imajiner, namun dengan jalan berpikir yang disebutnya “wild thought.”
Yang ia maksud “wild thought” ialah, apabila persamaan depressed cubic (2) memiliki solusi riil, maka dua bagian x pada persamaan Ferro-Tartaglia (3) bisa diekspresikan dalam bentuk  dan , dimana u dan v adalah bilangan riil.
Lalu apa relevansi “wild thought” ini terhadap matematika? John H. Mathews dan Russell W. Howell memberikan ilustrasi langkah berpikir Bombelli melalui contoh berikut ini.
Sebagai contoh, persamaan depressed cubic  yang mempunyai b = -15 dan c = -4. Dengan menerapkan formula Ferro-Tartaglia, didapatkan  atau dalam ekspresi lain . Dengan melewatkannya melalui “wild thought” Bombelli menunjukkan bahwa  dan . Yang apabila kedua ruas dipangkatkan tiga menghasilkan  dan . Kemudian, dengan menerapkan identitas aljabar :
untuk  dan . Hasilnya :




Hal yang sama juga dilakukan untuk bagian x lainnya yaitu .
Pada persamaan di atas tampak pikiran Bombelli bahwa  dan .
Bombelli kembali berpendapat bahwa u dan v haruslah bilangan bulat, dan karena faktor bilangan bulat dari 2 hanya 2 dan 1, maka  maka ia menyimpulkan bahwa  dan  yang diikuti dengan  atau . Nilai u dan v yang memenuhi adalah u = 2 dan v = 1.
Selanjutnya dengan memasukan nilai u dan v didapatkan nilai x, yaitu x = 4. Jadi, proses pengeluaran quantitas riil v dari kuantitas akar bilangan negatif serta dengan menempatkan quantitas akar dua dari negatif satu di dalam formula itu dipandang oleh Bombelli sebagai “wild thought.”
Untuk sampai kepada solusi riil ini Bombelli berfikir melalui teritorial bilangan imajiner yang belum pernah terpetakan sebelumnya. Sayangnya, trik berpikir ini tidak berlaku umum untuk semua persamaan kubik, tetapi hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus tertentu saja. Dalam risalah Aljabarnya, Bombelli menulis, “…and I too for a long time was of the same opinion. The whole matter seemed to rest on sophistry rather than on truth. Yet I sought so long, until I actually proved this to be the case.

Refresentasi Geometris dan Aljabar Bilangan Imajiner

Pikiran liar Bombelli merangsang orang dalam beberapa dekade berikutnya untuk mulai mempercayai keberadaan bilangan imajiner, dan sebagian ahli matematika berupaya agar keberadaannya menjadi lebih jelas, lebih dimengerti dan diterima. Salah satu cara agar keberadaannya diterima dengan mudah adalah dengan menyatakannya dalam bentuk grafik dua dimensi. Dalam kasus ini, sumbu x adalah untuk bilangan riil, dan sumbu y untuk bilangan imajiner.
Ide pertama untuk menyatakan bilangan kompleks dalam bentuk geometris bersumber dari John Wallis pada tahun 1673. Sayangnya ekspresi geometris awal terhadap bilangan kompleks mengarah ke konsekuensi yang tidak diharapkan, yaitu  dinyatakan pada titik yang sama dengan . Namun setidaknya representasi geometris ini memberikan konsepsi baru terhadap bilangan kompleks sebagai “titik pada bidang.” Upaya ini kemudian diteruskan oleh Caspar Wessel, Abbe Buee dan Jean Robert Argand.
Pada tahun 1732, matematikawan berkebangsaan Swiss, Leonhard Euler mengadopsi gagasan representasi geometris untuk solusi persamaan berbentuk  dan menyatakannya dalam bentuk . Euler juga adalah orang pertama yang menggunakan simbol i untuk . Di sisi lain, dalam risalahnya Euler menulis, “…for we may assert that they are neither nothing, not greater than nothing, nor less than nothing, which necessarily renders them imaginary or impossible.
Jelasnya, setelah ia memperlakukan bilangan imajiner secara matematis dan formal, dan menunjukan bahwa i mempunyai validitas matematis, pada akhirnya harus ia katakan bahwa eksistensi i dalam realitas adalah impossible, atau paling tidak “mental reality” belum mampu meletakan status ontologisnya.
Dua matematikawan lain yang turut memberikan sumbangan penting terhadap pengembangan bilangan imajiner adalah Augustin-Louis Cauchy (1789—1857) dan Carl Friedrich Gauss (1777 – 1855). Cauchy menemukan beberapa teorema penting dalam bilangan kompleks, sedangkan Gauss menggunakan bilangan kompleks sebagai peralatan penting dalam pembuktian teorema fundamental dalam aljabar, yaitu terbukti bahwa melalui bilangan kompleks, terdapat solusi untuk setiap persamaan polinomial berderajat n. Dalam paper yang dikeluarkan tahun 1831, Gauss menyatakan representasi geometris untuk bilangan kompleks x + iy dengan titik (x, y) dalam bidang kordinat. Ia juga menjelaskan operasi-operasi aritmetika dengan bilangan kompleks ini.
Atas dasar usaha Gauss, bilangan kompleks mulai disadari legitimasinya. Sebagian ahli matematika meyakini keberadaan bilangan kompleks dan berusaha memahaminya, sebagian yang lain tidak, dan sebagian lagi meragukannya. Pada tahun 1833 William Rowan Hamilton menyatakan bilangan kompleks sebagai pasangan bilangan (a, b). Kendati kelihatannya hanya sebuah ekspresi lain alih-alih a + ib, dengan maksud agar lebih mudah ditangani melalui aritmetika. Usaha ini memicu Karl Weierstrass, Hermann Schwarz, Richard Dedekind, Otto Holder, Henri Poincare, Eduard Study, dan Sir Frank Macfarlane Burnet untuk merumuskan teori umum tentang bilangan kompleks. Dan atas upaya August Möbius aplikasi bilangan kompleks ke dalam geometri menjadi lebih jelas bentuk-bentuk formula transformasinya.

Genuine Logical Problems

Pada tahun 1831 Augustus DeMorgan berkomentar dalam bukunya, On the Study and Difficulties of Mathematics,
We have shown the symbol √(-1) to be void of meaning, or rather self-contradictory and absurd. Nevertheless, by means of such symbols, a part of algebra is established which is of great utility.
Dari sudut pandang ilmu logika, terdapat kontradiksi semisal identitas  apabila diterapkan terhadap bilangan kompleks mengarah ke : . Masalahnya adalah (-1)(-1) = 1 dan . Tetapi . Jadi identitas  tidak berlaku ketika a dan b adalah bilangan negatif.
Di sisi lain notasi bilangan imajiner mengarah ke classic fallacy, sebagai contoh Philip Spencer memberikan 10 langkah pembuktian falasi 1=2 berkaitan dengan notasi bilangan imajiner ini :









Dilihat dari sejarah penemuan dan pengembangan bilangan imajiner, dan juga dari permasalahan logika di atas, notasi bilangan imajiner memegang peranan penting sebagai peralatan matematis dalam persoalan persamaan polinomial. Hal ini sebagaimana dikukuhkan oleh Gauss melalui teorema fundamental aljabar. Tetapi seperti yang dicatat Euler dan diperlihatkan oleh deMorgan, ia belum terlihat sebagai objek matematika dengan status ontologis yang jelas.

Bibliografi

Bacaan online  :